Wednesday, January 31, 2007

Hidup Tegar di Antara Sel Kanker

Puji Tuhan, sampai saat ini saya sehat dan sangat bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang Maha Besar dan juga kepada tim dokter yang baik dan membantu saya dalam hal keringanan biaya operasi. Juga untuk pihak-pihak lain yang membantu saya dalam mendapatkan obat. Terima kasih dan semoga Tuhan Yang Maha Esa membalasnya," ujar Tina Surya.
ina Surya (60) adalah pasien kanker payudara yang mampu bertahan sejak didiagnosis sampai memiliki kehidupan yang seimbang seperti sekarang ini atau survivor. Sejumlah survivor kanker payudara baru-baru ini bertemu dan membentuk Indonesian Breast Cancer Network. Wadah itu menampung kalangan yang peduli dan terkait langsung dengan penderita kanker payudara, seperti para survivor, dokter, perawat.
Pada wadah itulah, survivors memberi kekuatan kepada penderita kanker payudara yang baru didiagnosis dan yang sedang menjalani pengobatan. Mereka memberi penghiburan dan berbagi pengalaman selama menjalani masa-masa su- lit, seperti saat menjalani kemoterapi.

Kanker, ujar dr Samuel SpB(K)Onk dari Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) merupakan penyakit yang kompleks. Seseorang yang didiagnosis kanker payudara akan bertanya: "Mengapa saya?"
Lalu, sikap menyalahkan diri sendiri dan putus asa pun akan muncul. Hal-hal semacam itu akan menghambat proses pengambilan keputusan dalam pengobatan. Karena, dalam penyakit kanker sikap mengambil keputusan merupakan hal penting. Mengingat, kanker memiliki stadium, yang bila tidak segera diterapi akan berkembang menjadi stadium lanjut.

Khusus pada penyakit kanker, menurut Samuel, kata sembuh ditunda. Yang ada adalah bertahan hidup (survive). Penuturan atau testimoni Tina dalam menghadapi kanker sedikit banyak memberi gambaran perjuangan seorang penderita kanker payudara.

Tina mengisahkan, akhir tahun 2005, dia sangat terkejut mendapati ada benjolan di payudara sebelah kiri. Besarnya kurang lebih sebesar jempol, terletak di tempat di mana sekitar 30 tahun lalu pernah dilakukan operasi. Saat itu, ujarnya, ia segera dibawa suaminya ke RSKD.

Oleh dokter yang merawat, benjolan tersebut dikatakan "galak" dan "banyak kakinya". Lalu, ia pun menjalani pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan mamografi. "Dokter menasihati agar saya mengikuti semua saran dokter yang menangani saya. Namun di dalam hati, saya pun sempat takut mengingat ibu dan kakak saya mengalami hal yang sama dan hanya tinggal adik saja yang masih ada," kenang Tina.

Riwayat Kanker

Keluarga Tina memang memiliki riwayat kanker. Ibunya menderita kanker tenggorokan, kakaknya menderita kanker payudara, dan adiknya mengalami kanker payudara yang ukurannya masih satu sentimeter. Setelah menjalani operasi, dan dilanjutkan dengan kemoterapi, berat badan Tina sempat turun 13 kilogram. Sementara, berat badan suaminya yang selalu menemani berobat turun 9 kilogram.

Setelah menjalani kemoterapi enam kali, ibu dari dua putri itu sempat merasa sedih. Pasalnya, kepalanya menjadi botak, wajah hitam kelam, sempat mengalami diare, dan muntah. Seusai kemoterapi, pengobatan dilanjutkan dengan penyinaran 30 kali selama tiga bulan. Setelah itu, pemeriksaan foto menunjukkan hasil "bersih".

Riwayat kanker pada keluarga juga dimiliki survivor kanker penderita lain, Firda (46). Ibunya pernah menderita tumor. Kini, perempuan yang dianugerahi seorang putra itu sudah tidak memiliki payudara sebelah kanan. Meskipun demikian, dia merasa hal itu bukanlah sesuatu hambatan dalam hidup ini. Ketika didiagnosis kanker pun, yang ada di pikirannya adalah nasib putranya, Nathan, yang sekarang duduk di kelas satu SMP.

Ia bahkan merasa ti- dak sakit, dan tetap sibuk mengurus persiapan kampanye pemilihan presiden tahun 2004. Kebetulan ketika itu Firda aktif berkampanye bersama salah satu partai. Barulah setelah pemilihan selesai, ia merasakan sakit di payudara sebelah kanan. Hasil pemeriksaan dokter memastikan dirinya menderita kanker payudara dan ukurannya sudah sepanjang telunjuk.

"Saya tidak kaget, karena sudah memprediksi sebelumnya. Saya jelaskan penyakit kanker yang saya derita kepada anak dan meminta anak siap kalau saya tidak ada. Anak saya malah bertanya kok saya ngomong seperti itu. Beberapa hari kemudian, Nathan meminta saya berobat ke dokter. Setelah itu saya menangis dan mulai berobat. Kalau tidak ada dorongan dari anak, saya tidak tahu nasib saya, karena perkembangannya penyakit ini sangat cepat," ujar Firda.

Akhirnya ia menjalani operasi pada November 2004. Kemoterapi sebanyak enam kali dengan biaya sekali kemoterapi Rp 15 juta dijalani Firda. Bagi Firda masa kemoterapi merupakan masa yang sangat berat. Mual, muntah dan sensitif membuat dia enggan bertemu dengan orang. Syukur suaminya, Anton Gosal, dan anaknya serta sahabat, mendukung.

Kini, kondisi Firda lebih baik. Rambutnya sudah tumbuh, sekalipun dia masih lebih memilih memakai wig. Ia juga mencoba berjalan-jalan ke Eropa Desember lalu bersama keluarganya untuk mengetahui kondisi tubuhnya.

Untuk mendapatkan kondisi seperti sekarang ini, banyak hal yang sudah dikorbankan. Uang, tenaga, waktu, berhenti dari pekerjaan adalah beberapa hal yang dikorbankan. Tetap, kata Firda, dia sangat bersyukur keluarga sangat memperhatikan dan mendukung pengobatan yang dijalaninya, sehingga ia tidak kesulitan untuk dana.

Sempat Ragu

Lain halnya dengan Damaris Sitorus (56). Ibu dua anak itu sempat merasa ragu menjalani pengobatan kanker payudara yang dideritanya. Ketika dinyatakan oleh dokter bedah onkologi ia positif mengidap kanker payudara, Damaris sangat terpukul. Ia menangis, cemas, takut dan kehilangan rasa percaya diri.

"Sebagai manusia biasa, saya merasa gelisah bercampur dengan perasaan tidak jelas ketika mendengar omongan atau bisikan orang-orang yang menyatakan bahwa kalau terkena kanker payudara hanya tinggal menunggu waktu hitungan bulan," katanya.

Sebagai penderita, awalnya dia merasa yakin dengan pendapat semacam itu sehingga dia memvonis dirinya sendiri. Tetapi, katanya, ternyata dia tidak sendiri. Saudara dan teman dekatnya memberi penghiburan, dengan mengatakan semua penyakit adalah kembang kehidupan.

Maksudnya, bila kehidupan yang kita lalui semua berjalan mulus, tidak pernah sakit, karier berkembang terus dan bisnis lancar-lancar saja, keluarga baik-baik, kita akan menganggap diri sendiri paling hebat dalam segala hal. Tepuk dada, sombong, angkuh, dan merendahkan orang lain.

"Saya percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa mengizinkan saya menderita penyakit ini agar saya kembali dekat kepada-Nya," tambahnya.

Kini, kondisi para survivor sudah stabil. Mereka bisa bekerja, bernyanyi, melakukan perjalanan jauh dan kesibukan lainnya. Tetapi, sekalipun kondisi kesehatannya lebih baik, mereka terus memantau kesehatannya selama lima tahun ke depan. Rutin menjalani pemeriksaan mamografi sekali dalam enam bulan, pemeriksaan foto dada dan pemeriksaan foto tulang sekali dalam tiga bulan, dan pemeriksaan laboratorium sekali dalam sebulan.

Kesehatan memang tidak diperoleh dengan gratis. Butuh usaha, termasuk pencegahan, pengobatan dan pemeliharaan. [Pembaruan/Nancy Nainggolan]

No comments: